Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
Dilakukan sejak tahun 1619 oleh Kerajaan Banten saat VOC berusaha hendak merebut bandar pelabuhan Merak, yang membuat orang Banten sangat marah dan menaruh dendam terhadap VOC. Apalagi VOC telah dengan sewenang-wenang merebut Jayakarta yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Banten dan berusaha memblokade pelabuhan dengan Kerajaan Banten.
Untuk menghadapi bahaya dan ancaman Kerajaan Mataram, VOC berusaha mendekati Kerajaan Banten. Tetapi Banten sudah terlanjur menaruh dendam terhadap Belanda. Pada Desember 1627 orang-orang Banten merencanakan pembunuhan terhadap J.P. Coen. Tetapi rencana itu bocor dan telah diketahui musuh. Kemudian mereka mengamuk dan membunuh beberapa orang Belanda.
Tahun 1633, ketika VOC bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang Banten yang berlayar dan berdagang di Kepulauan Maluku, maka pecah lagi peperangan antara Banten dan VOC. Keangkuhan orang Belanda ini memicu kemarahan dan sikap anti terhadap sifat kolonialis. VOC bukan saja ingin menguasai perdagangan tetapi juga menerapkan pajak yang tinggi terhadap rakyat Banten.
Orang-orang Banten merasa harga diri mereka dilecehkan. Mereka adalah penganut Islam kuat dan selalu memiliki semangat untuk menegakkan keadilan. Rakyat Banten menganggap orang-orang Belanda adalah orang-orang yang akan merusak tatanan kehidupan di tanah Banten.
Hubungan antara Kerajaan Banten dan VOC lebih gawat lagi ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan Abdulfatah. Abdulfatah yang dikenal gelarnya Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682). Hal ini dibuktikan dengan peperangan-peperangan yang dilakukannya melawan VOC atau Kompeni Belanda, baik di darat maupun di laut. Di daerah-daerah perbatasan antara Batavia dan Kerajaan Banten seperti di daerah Angke, 'Pesing dan Tangerang sering terjadi pertempuran-pertempuran yang membawa korban kedua belah pihak.
Untuk melawan Banten, VOC membentuk pasukan-pasukan bayaran yang terdiri dari pelbagai suku bangsa seperti: Suku Bugis, Suku Bali, Suku Banda dan lain-Iainnya. Selain itu VOC juga terdiri dari pelbagai suku bangsa Indonesia yang bermukim dan bertempat tinggal di Jakarta, termasuk orangorang Cina, orang-orang Jepang serta keturunan orang-orang Portugis yang sudah menjadi kawula atau pegawai-pegawai VOC. Orang-orang Belanda senfliri yang tidak seberapa jumlahnya, karenanya selalu berada di garis belakang, namun dengan persenjataan lengkap bahkan mempergunakan senjata meriam.
VOC juga mendirikan dan memperkuat perbentengan-perbentengan mereka di perbatasan Kerajaan Banten, seperti di daerah Angke, Pesing dan lain-lainnya, Tahun 1658, dipimpin Raden Senopati Ingalaga dan Haji Wangsaraja menyerang Batavia di daerah Angke dan Tangerang. Kedatangan tentara Banten itu sudah diketahui VOC melalui mata-mata dan kaki tangan mereka.
VOC menyiapkan pasukan-pasukannya dan segera menyongsong tentara Banten itu. Dan terjadilah pertempuran seru. Dengan kapalkapalnya dan persenjataan meriam-meriamnya yang besar VOC mengurung serta menutup pelabuhan Banten, yang berakibat terhentinya perdagangan Kerajaan Banten.
Dengan cara yang demikian VOC banyak menimbulkan kerugian lawan, karena hidup kerajaan itu sebagian besar bergantung kepada perdagangan. Belanda yang licik berusaha memecah belah dan mengadu domba orang-orang Banten, yang berhasil mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dan puteranya, Sultan Haji. Akhimya ayah dan anak itu bermusuhan dan berperang. Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC, sedang Sultan Haji berpihak pada VOC.
Pada bulan Pebruari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan bantuan di bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan di Tirtayasa. Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar datang ke Istana, yang curiga memenuhi undangan puteranya.
Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat. Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan perlawanan.
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini terlihat di berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid (w. 28 Juli 1888) dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.
Perlawanan
rakyat Aceh terhadap VOC
Perang
Aceh
adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi
perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira
Latar belakang
Perang
Aceh disebabkan karena:
- Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
- Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
- Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
- Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
- Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
- Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
I. Perlawanan Mataram (Perlawanan
Sultan Agung)
·
Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan
pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645). Cita-cita Sultan Agung adalah
menyatukan kerajaan-kerajaan Jawa di bawah pimpinan Mataram.
·
Adapun sebab-sebab Mataram menyerang Batavia
adalah:
·
(1) Mengusir Belanda dari tanah air
Indonesia.
·
(2) Belanda sering merintangi perdagangan
Mataram di Malaka.
·
(3) Belanda melaksanakan monopoli
perdagangan.
·
Sultan Agung mengadakan penyerangan ke
Batavia pertama kali pada tahun 1628. Pasukan pertama dipimpin oleh Tumenggung
Bahurekso. Adapun pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Agul-Agul, Kyai Dipati
Mandurorejo, Kyai Dipati Upusonto, dan Dipati Ukur. Namun serangan tersebut
mengalami kekalahan. Kegagalan serangan pertama tidak mengendorkan semangat
melawan Belanda. Sultan Agung menyusun kembali kekuatan untuk melakukan
serangan kedua dengan matang dan cermat. Pada Tahun 1629 Sultan Agung kembali
menyerang Batavia untuk kedua kalinya di bawah pimpinan Dipati Puger dan Dipati
Purbaya. Serangan kedua juga mengalami kegagalan, sebab persiapan Sultan Agung
telah diketahui oleh VOC, gudang-gudang persiapan makanan Sultan Agung dibakar
oleh VOC. Dalam peperangan itu Pimpinan VOC Y.P. Coen meninggal akibat penyakit
colera,
·
sehingga tentara Mataran mundur takut
terserang penyakit. Kemudian perlawanan rakyat Mataram dilanjutkan oleh:
·(1) Trunojoyo (1674–1709)
·
(2) Untung Suropati (1674–1706)
·
(3) Mangkubumi dan Mas Said (1474–1755)
·
Pada saat perlawanan Mangkubumi, terjadi
kesepakatan damai dengan Belanda dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti
·
(1755) yang isinya:
·
(1) Mataram dibagi menjadi dua yaitu Mataram
Barat (Jogja) dan
·
Mataram Timur (Surakarta).
·
(2) Mangkubumi berkuasa di Mataram Barat dan
Paku Buwono
·
berkuasa di Mataram Timur (Surakarta).
·
Sultan Agung Melawan VOC
·
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar
Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram
mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton
Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di
seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan
supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa
lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan
Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari
Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah
seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
·
Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung
juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya
antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana
terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha
menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam.
Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan
tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang
lainnya.
·
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan
meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti
oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi
sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai
dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan
Mataram dipindahkan ke Kerta.
·
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung
para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta
jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak
ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di
Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya
wafat.
·
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat
II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta
pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya.
Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC,
dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus
menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat
perang.
·
Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan
kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC.
Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger
(adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para
pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi
biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan.
Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung
Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
·
Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan
semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh
putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang
mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak
setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai
raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang
saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708).
Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku
Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan
Madura bagian timur kepada VOC.
·
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh
Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam
pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya,
dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar
dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan
Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri
Langka dan Afrika Selatan.
·
Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku
Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China
terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan
benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat
dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana
II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan
timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China
menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan
bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak
poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
·
Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa
tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah
pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran
Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan
hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi
Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden
Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang
Perebutan Mahkota III (1747-1755).
·
Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan
yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan
wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat
sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah
VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan
menjadi Paku Buwana III (1749).
·
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan
pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya,
Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara
Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin.
VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah
Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
·
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang
sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi
perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan
kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan
mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku
Buwana III.
·
Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan
Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta
dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.
A.
Perang
Bali (1846-1909)
Perang Bali adalah perang antara kerajaan-kerajaan yang ada di pulau
Bali dengan bangsa kolonial Belanda. Perang ini terjadi karena
kerajaan-kerajaan tersebut tidak ingin dikuasai oleh bangsa asing.
1.
Sebab umum.
-
Belanda hendak memaksakan kehendaknya untuk
menghapuskan hak-hak kekuasan kerajaan-kerajaan di Bali atas daerahnya.
-
Raja-raja Bali dipaksa mengakui kedaulatan
pemerintah Hindia Belanda dan mengizinkan pengibaran bendera Belanda di wilayah
kerajaannya.
-
Adat agama sute yang dianggap Belanda tidak
berprikemanusiaan akan dihapus oleh Belanda.
2.
Sebab khusus.
Belanda
menolak hak Raja Buleleng yaitu hak Tawan karang yang menyatakan kapal asing
yang terdampar di pantai kerajaan tersebut akan dirampas kapal beserta isinya.
3.
Strategi Perang.
Pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi pasukannya ke Bali untuk membuat
raja-raja Bali takluk. Ekspedisi pertama tidak berhasil kemudian Belanda
mengirimkan pasukannya yang lebih besar lagi. Karena kalahnya jumlah dan
teknologi senjata, rakyat Bali hanya tinggal bertahan di Benteng-benteng
pertahanan sambil sedikit-sedikit menyerang dan juga dengan menjalankan perang
Puputan. Yaitu perang suci sampai tetes darah penghabisan.
4.
Tokoh-tokoh.
a.
Dari rakyat Bali.
I Gusti ktut Jelantik dan Raja Buleleng.
b.
Dari kolonial Belanda.
Jenderal Micheles.
5.
Medan Perang.
Medan
perang hampir seluruh pulau Bali yang meliputi Klungkung, Buleleng, karang
Asem, gianyar, dll.
6.
Akhir perang.
Jatuhnya Buleleng ke tangan Belanda, mempengaruhi raja-raja lain untuk
bersikap lunak terhadap Belanda. Akibatnya sebagian besar kerajaan di Bali
dapat ditaklukan Belanda pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1906 Belanda
menyerang Bali selatan yang di sana mendapatkan perlawanan yang sengit yang
diikuti dengan perang Puputan. Baru pada tahun 1909 seluruh Bali dapat di
kuasai oleh Belanda.
7.
Akibat-akibat perang.
a.
Bidang politik.
-
Dikuasainya seluruh pulau Bali oleh Belanda.
-
Berkurangnya kekuasaan raja pada kerajaannya
bahkan raja dapat dikatakan menjadi bawahan Belanda.
b.
Bidang ekonomi.
-
Dikuasainya monopoli perdagangan di Bali
karena Bali merupakan daerah yang sangat strategis yang banyak dikunjungi
bangsa asing.
c.
Bidang sosial.
-
Banyaknya tatanan sosial yang dirobah oleh
Belanda termasuk dihapuskannya adat Sute pada upacara ngaben.
B.
Perang
Banjar (1859-1863).
Perang Banjar terjadi di kerajaan Banjar daerah Kalimantan Selatan
sekarang.
1.
Sebab umum.
-
Rakyat tidak senang dengan merajalelanya
Belanda yang mengusahakan perkebunan dan pertambangan di Kalimantan Selatan.
-
Belanda terlalu banyak campur tangan dalam
urusan intern kerajaan.
-
Belanda bermaksud menguasai daerah Kalimantan
Selatan karena daerah ini ditemukan tambang Batubara.
2.
Sebab Khusus.
Karena Pangeran Hidayatullah yang seharusnya menjadi
Sultan Banjar tidak disetujui oleh Belanda yang kemudian mengangkap Tamjidilah
sebagai Sultan yang tidak berhak menjadi Sultan. Kemudian setelah Belanda
mencopot Tamjidilah dari kursi Sultan, Belanda membubarkan Kerajaan Banjar.
3.
Strategi Perang.
Pangeran
hidayatullah dan Pangeran Antasari menggunakan strategi perang gerilya dengan
membuat kerajaan baru di pedalaman dan membangun benteng-benteng pertahanan di
hutan-hutan.
4.
Tokoh-tokoh.
a.
Dari rakyat Banjar.
Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari,
Aling, Tumenggung Antaludin, Tumenggung Suropati, Demang Leman, dan Muhammad
Seman.
b.
Dari pihak kolonial Belanda.
5.
Medan Perang.
Daerah
pertempuran berada di daerah Kalimantan Seltan hampir seluruhnya. Termasuk di
daerah sungai barito.
6.
Akhir perang.
Setelah Pangeran Hidayatullah tertangkap dan Pangeran
antasari wafat, perjuangan tetap berlanjut yang di pimpin oleh Gusti Mat Seman,
Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durahman. Oleh pemimpin-pemimpin tersebut,
rakyat masih bergerilya dengan se-sekali melakukan serangan kepada Belanda
sampai awal abad ke-20.
7.
Akibat perang.
a.
Bidang politik.
-
Daerah Kalimantan selatan dikuasai sepenuhnya
oleh pemerintah kolonial Belanda.
-
Dibubarkannya kerajaan Banjar.
b.
Bidang ekonomi.
Dikuasainya tambang batubara dan perkebunan
di daerah Kalimantan Selatan
C.
Perang
Tapanuli (1878-1907).
Perang ini dipimpin oleh Si singamangaraja ke-XII.
1.
Sebab umum.
-
Adanya tantangan raja Batak Tapanuli yang
masih menganut agama Batak kuno (Animisme dinamisme) atas penyebaran agama
Kristen di Tapanuli.
-
Adanya siasat Belanda dengan menggunakan
gerakan Zending untuk menguasai daerah Tapanuli.
-
Alasan yang digunakan Belanda untuk menindas
pejuang Padri dan pemimpin-pemimpin Aceh banyak melarikan diri ke daerah
Tapanuli.
2.
Sebab Khusus.
Penolakan
Raja Si Singamangaraja ke-XII atas penyebaran agama Kristen di daerah Tapanuli.
3.
Strategi perang.
Belanda
melakukan serangan ke benteng pertahanan Si Singamangaraja, setelah terdesak Si
singamangaraja menyingkir ke hutan untuk melakukan perjuangan gerilya
4.
Tokoh-tokoh.
a.
Dari rakyat Tapanuli.
Raja Si singamangaraja ke-XII.
b.
Dari pemerintah kolonial belanda.
Van Dai Lent dan Kapten Cristopher.
5.
Medan Perang.
Medan
pertempuran berada di seluruh Sumatra Utara sekitar Medan dan Danau Toba.
6.
Akhir perang.
Pada
tanggal 17 Juni 1907 Si singamangaraja ke-XII tewas dalam pertempuran sehingga
berakhirlah perang Tapanuli. Karena seperti perang kedaerahan lainnya, jika
pemimpinnya meninggal atau tertangkap, maka perang yang bersangkutan juga akan
berakhir.
7.
Akibat perang.
a.
Bidang Politik.
Seluruh daerah Tapanuli dapat dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda.
b.
Bidang ekonomi.
Dikuasainya monopoli perdagangan di sana
terutama hasil perkebunannya seperti tembakau.
c.
Bidang sosial.
Tersebarnya
agama kristen di Tapanuli secara meluas yang menyebabkan berubahnya keyakinan
masyarakat sebelumnya.
makasih :)
BalasHapussangat membantu : )
BalasHapustolong jabarin kak, sebab umum, sebab khusus, jalannya perang, akhir perang, dan tokoh tokoh dari perang Banten kak
BalasHapus